TUGAS
PELABUHAN
“KONSEP DAN ANALISA PELABUHAN”
DISUSUN
OLEH :
JUFRIADI
(17 630 074)
PROGRAM
STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS
TEKNIK
UNIVERSITAS
DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pelabuhan,
menurut Pasal 1 UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, merupakan tempat yang
terdiri dari daratan dan perairan dengan batas-batas tertentu, di mana
berlangsung kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Kegiatan-kegiatan
menyangkut kapal-kapal yang bersandar, berlabuh, naik turun penumpang, bongkar
muat barang, fasilitas keselamatan pelayaran, serta sebagai tempat perpindahan
intra dan antarmoda transportasi.
Pengelolaan
pelabuhan, merupakan persoalan yang rumit dan membutuhkan pengaturan yang
teknis dan mendetail. Kompleksnya persoalan dan besarnya potensi pelabuhan di
Indonesia tidak disertai dengan pengaturan yang ‘kaya’ dan sistematis. Secara
umum, masalah pelabuhan ini hanya diatur dalam aturan Pelayaran, yaitu
Undang-undang tentang Pelayaran No. 21 Tahun 1992. Sedangkan yang khusus
mengenai pengelolaan pelabuhan baru diatur oleh peraturan setingkat Peraturan
Pemerintah (Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001).
Kurangnya
pengaturan di bidang pengelolaan pelabuhan, dewasa ini terasa sangat mengganggu
dalam pengembangan potensi maritim yang dimiliki
Indonesia. Diakui Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut
Dephub, Djoko Pramono, bahwa konsep pengelolaan pelabuhan di Indonesia masih
belum jelas. Menurutnya, tidak dapat dipastikan konsep apa yang sebenarnya
dipegang oleh Pelindo (sebagai pangelola yang ditunjuk resmi oleh PP No.69
Tahun 2001), apakah konsep operating port atau land port.1
Minimnya
pengaturan masalah pengelolaan pelabuhan ini mengakibatkan banyak terjadi
kerancuan. Ditambah lagi dengan adanya Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dan Undang-undang No.22 Tahun 1999
Jo. Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Muncul
persoalan ketika penafsiran masalah kewenangan pemerintahan daerah dalam
mengatur dan menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Artinya, di sini aturan
itu diinterpretasikan sebagai bentuk kebebasan pemda dalam mengelola pelabuhan
yang dimilikinya sebagai aset kekayaan daerahnya.
Namun
di sisi lain, banyak para ahli di bidang hukum kelautan menilai, masalah
kepelabuhan yang mengarah pada otonomi daerah harus ditindaklanjuti dengan
pengaturan yang sangat hati-hati. Karena masalah kepelabuhan bukan hanya
berdimensi pada sektor perniagaan nasional tapi juga harus memperhatikan
dimensi hukum internasional.
1
“Pelindo Bukan Satu-satunya Pengelola Pelabuhan”, http://www.bumn-ri/news.detail.htm?news_id, 6 Agustus 2005
Ahli
hukum laut internasional, Hasjim Djalal, mengingatkan, pengelolaan pelabuhan
tidak bisa disamakan dengan aset lain, karena pengelolaan pelabuhan terkait
dengan berbagai aturan internasional. Jika aturan tersebut diabaikan, maka
barang yang diekspor dari Indonesia juga tidak bisa diterima atau dilarang
masuk ke pasar dunia. Salah satu contohnya adalah, sejak 1 Juli 2004, pelabuhan
dan kapal yang melayani pelayaran internasional diwajibkan memenuhi standar
Organisasi Maritim Internasional (IMO)2.
Dengan
demikian, penelitian ini akan mengemukakan diskusi tentang perlu tidaknya
pembentukan sebuah Naskah Akademik yang menjadi landasan bagi terbentukanya
undang-undang khusus mengenai pelabuhan yang terpisah dari Undang-undang
Pelayaran, yang lebih sistematis, berdimensi nasional maupun internasional.
Mengenai
kewenangan PT. Pelindo dalam regulasi yang diberikan oleh PP NO.69 Tahun 2001,
juga menjadi polemik, karena dianggap bertentangan dengan kaidah-kaidah
Pemerintahan Daerah (Hasil sosialisasi DPD DKI). Sehubungan dengan hal ini,
Mahkamah Agung telah mengabulkan judicial review terhadap PP 69 Tahun 2001
tentang kepelabuhan3.
Akibat kemenangan ini, maka Surat Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda Kota Cilegon No.2 Tahun
2001 tentang
Kepelabuhan batal demi hukum4.
Persoalan
lain yang terkait dengan pengelolaan pelabuhan adalah adanya kecenderungan
Pemerintah Daerah untuk mengelola Pelabuhan Perikanan, tanpa memperhatikan
kemampuan dan ketersediaan fasilitas. Disinyalir, kecenderungan ini salah
satunya diakibatkan oleh keinginan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan PAD
sebesar-besarnya.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
lebih menajamkan pembahasan masalah pelabuhan yang dikelola oleh Pemda dalam
kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum ini, perlu dirumuskan beberapa
permasalahan, di antaranya:
1. Bagaimana peraturan
perundang-undangan yang ada mengakomodir kewenangan Pemda dalam pengelolaan
pelabuhan?
2. Bagaimana pengaturan bagi
pegelolaan pelabuhan yang ideal agar tidak terjadi konflik antara instansi yang
berwenang dan pihak ketiga?
2 “Daerah
Tidak Berhak Ambil Alih Pelabuhan”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/12/utama/1204169.htm,
6 Agustus 2005.
3 Mahkamah
Agung memenangkan uji materiil yang diajukan Pemkot Cilegon atas PP No.69 Tahun
2001 tentang Pelabuhan.
4 Faidil
Akbar, “Pemkot Cilegon Menangkan Gugatan Pengelolaan Pelabuhan”, www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/06/09/brk,20040609-19,id.html, diakses 7 Maret 2006.
C.
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan
dari kegiatan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan hukum apa saja yang ada dalam Pengelolaan Pelabuhan
yang seharusnya diatur khusus dengan mengacu pada Undang-undang yang terkait
dengan pengelolaan pelabuhan, seperti yang ada dalam Undang-undang (UU) tentang
Pelayaran, UU tentang Perikanan dan UU tentang Pemda serta UU terkait lainnya.
Identifikasi permasalahan-permasalahan hukum ini terutama untuk menganalisis
dan mengevaluasi perundang-undangan yang terkait dengan masalah pelabuhan bagi
persoalan yang tertuang dalam identifikasi masalah, yaitu:
1.
Untuk mengeinvetarisir dan menganalisis tentang peraturan
perundang-undangan yang ada mengakomodir kewenangan Pemda dalam pengelolaan
pelabuhan
2.
Untuk menganalisis masalah pengelolaan pelabuhan oleh Pemda yang sesuai
dengan ketentuan UU Pemda dan sekaligus tidak menyalahi aturan internasional
mengenai ekspor impor.
3.
Untuk menganalisis masalah pengaturan bagi pegelolaan pelabuhan yang
ideal agar tidak terjadi konflik antara instansi yang berwenang dan pihak
ketiga.
Sedangkan
Kegunaan dari penulisan ini adalah untuk kepentingan teoritis dan praktis.
Kepentingan teoritis, diharapkan tulisan ini dapat digunakan sebagai referensi
bagi persoalan-persaolan hukum pengelolaan pelabuhan.
Sementara, dalam hal kepentingan praktis, tulisan ini diharapkan dapat
dijadikan acuan dan referansi bagi pembentukan Undang-undang tentang
Pengelolaan Pelabuhan secara khusus.
D. Ruang
Lingkup
Ruang
lingkup analisa dan evaluasi tentang pengelolaan pelabuhan ini adalah: masalah
kepelabuhan yang berkaitan dengan dimensi otonomi daerah yang dikaitkan dengan
UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22 Tahun 1999 Jo. UU No.32 Tahun 2004)
dan UU tetnang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU N.25 Tahun 1999). Maka
dalam menganalisis dan mengevaluasi peraturan kepelabuhan harus diinventarisir
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
3. Undang-undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
4. Undang-undang No.34 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik
Indonesia Jakarta;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhan.
6. Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerinta dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom;
E.
Metode Penulisan
Metode
yang dilakukan dalam pengkajian ini adalah metode penelitian yuridis normatif
dan yuridis empiris. Namun demikian, penelitian ini menitikberatkan pada studi
normatif, dengan menggunakan data-data sekunder, berupa Peraturan Dasar,
Peraturan Perundang-undangan serta tulisan-tulisan dan buku-buku yang terkait
dengan judul kegiatan tim ini.
Untuk
menambah dan mendukung data sekunder, penelitian juga menggunakan data primer,
berupa hasil observasi dari instansi yang secara langsung terjun dalam
menangani pengelolaan pelabuhan, yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan,
Departemen Perhubungan Pemda DKI dan PT. Pelindo.
F.
Jadwal Kegiatan
|
N
|
KEGIATA
|
JA
|
FE
|
MA
|
AP
|
M
|
JU
|
JU
|
AU
|
SE
|
OK
|
NO
|
|
o.
|
N
|
N
|
B
|
R
|
R
|
EI
|
N
|
L
|
G
|
P
|
T
|
P
|
1. Pembuatan xxx xxx xxx
Proposal
|
2.
|
Pengumpu
|
xxx xx
|
|
|
|
lan Data
|
x
|
|
|
3.
|
Pengolaha
|
xx xxx
xxx
|
|
|
|
n Data
|
|
x
|
|
4.
|
Harmonisa
|
xxx xxx
|
|
|
|
si
|
dan
|
|
|
|
Sinkronisa
|
|
|
|
|
si
|
|
|
|
5.
|
Penyusuna
|
xxx
|
|
n Laporan Akhir
|
6.
Finalisasi
|
xxx
|
|
Laporan
|
|
|
Akhir
|
|
Kegiatan
harmonisasi hukum ini dilakukan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2005.
G.
Organisasi Tim
Susunan organisasi tim ini terdiri dari :
Ketua : Prof. Safri Nugraha, SH, LL.M., Ph.D
Sekretaris : Aisyah Lailiyah, SH
Anggota : 1. Supranawa Yusuf, SH, MPA
2. Irawan Septinadi, SH
3. Umar Aris, SH, MM, MH
4. Armen Amir, SH
5. Sukesti Iriani, SH, MH
6. Supriyatno, SH
7. Drs. Sularto, SH
8. Dra. Evi Djuniari, MH
Asisten : 1. Heru Baskoro, SH, MH
2. Bungasan Hutapea, SH
Pengetik : 1. Sudarmanto
2. Supriyadi
BAB II
TINJAUAN
UMUM TENTANG PELABUHAN
Pengertian
Pelabuhan
Pengertian pelabuhan dapat dirujuk dalam UU No.
21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Disebutkan bahwa pelabuhan merupakan tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang
dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra dan antarmoda transportasi.
Dari pengertian tersebut, definisi pelabuhan
mencakup prasarana dan sistem transportasi, yaitu suatu lingkungan kerja
terdiri dari area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas untuk
berlabuh dan bertambatnya kapal, guna terselenggaranya bongkar muat barang
serta turun naiknya penumpang dari suatu moda transportasi laut (kapal) ke moda
transportasi lainnya atau sebaliknya.
Pengertian
pelabuhan tersebut mencerminkan fungsi-fungsi pelabuhan, di antaranya:
Interface:
bahwa pelabuhan merupakan tempat dua moda/sistem transportasi, yaitu
transportasi laut dan transportasi darat. Ini berarti pelabuhan harus
menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan jasa yang dibutuhkan untuk
perpindahan (transfer) barang dari kapal ke angkutan darat, atau sebaliknya.
Link (mata rantai): bahwa pelabuhan merupakan
mata rantai dan sistem transportasi. Sebagai mata rantai, pelabuhan, baik
dilihat dari kinerjanya mapun dari segi biayanya, akan sangat mempengaruhi
kegiatan transportasi keseluruhan.
Gateway (pintu gerbang)): bahwa pelabuhan
berfungsi sebagai gerbang dari suatu negara atau daerah. Pengertian ini dapat
dilihat dari segi:
Pelabuhan sebagai pintu masuk atau pintu keluar
barang dari atau ke negara atau daerah tersebut. Dalam hal ini pelabuhan
memegang peranan penting bagi perekonomian negara atau suatu daerah.
Pelabuhan sebagai pintu gerbang. Kapal-kapal
yang memasuki pelabuhan terkena peraturan perundang-undangan dari negara atau
daerah tempat pelabuhan tersebut berada., yaitu ketentuan-ketentuan bea cukai,
imigrasi, karantina peraturan impor/ekspor dan sebagainya.
Industry entity: bahwa perkembangan industri yang berorientasi pada
ekspor dari suatu negara, maka fungsi pelabuhan semakin penting bagi industri
tersebut.
B.
Jenis-jenis Pelabuhan
Di Indonesia terdapat berbagai macam pelabuhan,
tergantung kriteria yang dipakai, ketentuan peraturan perundang-undangan, letak
geografis, besar kecilnya kegiatan pelabuhan dan organisasi serta pengelolaan
pelabuhan.
Berdasarkan kriteria yang ada dalam
peraturan-peraturan Indonesia pelabuhan dapat dikelompokkan dalam:
a.
Menurut Indische Scheepyaartswet (Stbl. 1936)
ditetapkan bahwa pelabuhan di Indonesia terdiri dari pelabuhan laut dan
pelabuhan pantai. Pelabuhan laut adalah pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan
luar negeri yang dapat masuk kapal-kapal dari negara-negara tersebut (luar
negeri). Sedangkan pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang tidak terbuka bagi
perdagangan luar negeri dan hanya dapat dimasuki oleh kapal-kapal yang
berbendera Indonesia.
b.
Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan, membedakan pelabuhan atas tiga kategori (Pasal 1), yaitu:
1.
Pelabuhan Umum adalah pelabuhan yang
diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum
2. Pelabuhan Daratan adalah suatu tempat tertentu
di daratan dengan batas-batas yang jelas, dilengkapi dengan fasilitas bongkar
muat, lapangan penumpukan dan gudang serta prasarana dan sarana angkutan barang
dengan cara pengemasan khusus dan berfungsi sebagai pelabuhan umum.
3.
Pelabuhan Khusus adalah pelabuhan pelabuhan yang
dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
c.
Berdasarkan letak geografis, pelabuhan terdiri
dari pelabuhan pantai yaitu pelabuhan yang terletak di pantai laut. Termasuk
dalam kelompok ini antara lain: Tanjung Priok, Surabaya, Teluk Buyat, Banten,
Semarang, Makasar, Pelabuhan sungai yaitu pelabuhan yang terletak di sungai
biasaya agak jauh ke pedalaman, yaitu Palembang, Jambi, Pekanbaru, Pontianak
dan sebagainya.
d.
Berdasarkan kriteria besar kecilnya kegiatan,
lengkapnya fasilitas yang tersedia pelabuhan dapat dibagi atas: Pelabuhan
Internasional, Pelabuhan Regional, Pelabuhan Lokal. Atau dapat dijabarkan
bedasarkan tipe/ukuran kapal atau liner service: gateway port, trunk port dan
feeder por.
e.
Berdasarkan volume kegiatan yang berhubungan
dengan komoditi perdagangan maka pelabuhan dapat dibagi: Pelabuhan Ekspor di
mana arus barang (cargo flow) lebih dominan untuk ekspor dari pada impor
seperti: Pelabuhan Belawan, Teluk Bayur, Panjang. Pelabuhan Impor di mana arus
barang lebih dominan untuk barang impor dari pada ekspor seperti Tanjung Priok.
Di samping itu dikenal pula pelabuhan penyeberangan (ferry) yang hanya melayani
kapal penyeberangan (ferry) seperti Pelabuhan Gilimanuk, Banyuwangi, Merak,
Bakahuni dan sebagainya.
C. Daerah Lingkungan
Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan
Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan menurut PP
No.69 Tahun 2001 adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan umum yang
dipergunakan secara langsung untuk kegiatan kepelabuhan.
Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan adalah
wilayah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan umum
yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
D.
Administrator Pelabuhan
a. Administrator Pelabuhan ialah koordinator
bidang perhubungan laut yang berfungsi mengkoordinasikan unit pelaksana badan
Usaha Pelabuhan, instansi-instansi pemerintah lainnya untuk kelancaran tugas
kepelabuhanan di pelabuhan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.
b. Kepala Pelabuhan adalah unit pelaksana teknis
instansi pemerintah bidang pemerintah bidang perhubungan laut, di bidang
pelabuhan yang tidak diusahakan oleh Badan usaha Pelabuhan.
c. Unit
Pelaksana Teknisdi bidang perhubungan laut terdiri dari:
1. Kendaraan,
perkapalan dan pelayanan
2. Jasa maritim, perambuan dan penerangan pantai,
elektronika dan telekomunikasi pelayaran
3. Pengamanan
pelabuhan dan bandar serta lalu lintas dan angkutan laut.
d. Administrator pelabuhan melaksanakan
koordinasi terhadap unit pelaksana Badan Usaha Pelabuhan, instansi pemerintah
bidang perhubungan laut dan instansi pemerintah lainnya untuk kelancaran
tugas-tugas kepelabuhanan.
e. Administrator pelabuhan terdiri dari Adpel
Kelas I, Kepala-kepala pelabuhan dan Adpel Kelas III dan IV. Pengangkatan
adpel-adpel setempat dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut,
Dephub.
E.
Fungsi Pelabuhan
Di era globalisasi dewasa ini ternyata tidak ada
bangsa/negara yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Hal ini disebabkan oleh
karena tidak sama sumber daya alam yang dimiliki, dan tidak sama pula kemampuan
dalam mengelola sumber daya alam tersebut. Juga tidak sama perkembangan
industri dan pertanian yang menghasilkan barang kebutuhan serta tinggi
rendahnya kebudayaan dan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing negara.
Dengan kebutuhan yang semakin meningkat dan adanya keterbatasan masing-masing
negara untuk memenuhi kebutuhan maka terjadi saling ketergantungan antara satu
negara dengan negara lainnya, melalui perdagangan internasional.
Bagi negara-negara maju mengandalkan kekuatan
ekonominya pada industri atau pertanian dan ada negara yang masih mengandalkan
ekonominya pada sumber daya alam yang berlimpah (natual resources).
Negara industri maju membutuhkan bahan baku.
Sebaliknya negara-negara berkembang yang sedang tumbuh sektor industinya
membutuhkan bahan baku di samping negara-negara dengan sumber daya alam yang
berlimpah membutuhkan pasar untuk menjual produksinya. Kondisi dan perbedaan
kebutuhan demikian telah ikut mendorong berkembangnya perdagangan antar negara
atau perdagangan internasional.
Perdagangan internasional berarti perdagangan
yang melibatkan beberapa negara yang masing-masing mempunyai kepentingan
nasional dengan peraturan perundang-undangan yang berbeda. Untuk itu diperlukan
kerjasama antar negara yang bersifat bilateral yaitu persetujuan antara dua
negara yang akan menghasilkan perjanjian perdagangan dua negara (bilateral
trade agreement). Jika yang terlibat beberapa negara, dalam daerah tertentu,
atau berdasarkan pada kepentingan yang sama maka menghasilkan perjanjian antara
beberapa negara (regional trade agreement atau mulilateral trade agreement).
Dalam transaksi perdagangan sedikitnya ada unsur
penjualan (ekspor), pembelian (impor) dan barang (komoditas) sebagai objek
perdagangan. Transaksi perdagangan antar
negara ini (ekspor/impor) dilaksanakan melalui proses yang cukup panjang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk masing-masing negara serta ketentuan-ketentuan yang secara umum berlaku
bagi kedua negara seperti bilateral agreement, regional agreement atau
multilateral agreement/convention.
Dalam kegiatan perdagangan yang menggunakan
fasilitas pelabuhan, dilaksanakan pemindahan barang yang merupakan proses dari
transaksi perdagangan. Untuk terlaksananya proses transaksi perdagangan
tersebut diperlukan serangkaian kegiatan yang melibatkan pergudangan,
pengawasan persediaan barang, pemeliharaan dan pengepakan, dokumentasi dan
pengiriman, transportasi dan pelayanan purna jual kepada konsumen. Pendeknya,
transaksi perdagangan akan sangat membutuhkan peran transportasi sebagai
penunjang yang sangat menentukan. Untuk itu, lancarnya transportasi, tepat
waktu dan jaminan keselamatan barang dengan biaya yang prospektif, akan
mempengaruhi harga atau mutu komoditas sampai pada konsumen.
Dapat dikatakan bahwa negara produsen yang
berorientasi pada ekspor sangat berkepentingan atas jasa transportasi. Terutama
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang sedang menuju ke arah
industrialisasi, dengan hasil produski yang berorientasi ekspor. Hal ini juga
menentukan daya saing barang (komoditas) ekspor Indonesia di pasar
internasional.
F.
Peranan Pelabuhan
Setelah beberapa uraian tentang pengertian
hal-hal yang berkaitan dengan kepelabuhanan, maka perlu diuraikan peranan
pelabuhan yaitu:
1.
Untuk melayani kebutuhan perdagangan
internasionl dari daerah penyangga (hinterland) tempat pelabuhan tersebut
berada.
2.
Membantu berputarnya roda perdagangan dan
pengembangan industri regional.
3.
Menampung pangsa yang semakin meningkat arus
lalu lintas internasional baik transhipment maupun barang masuk (inland
routing)
4.
Menyediakan fasilitas transit untuk daerah
penyangga (hinterland) atau daerah/negara tetangga.
Pelabuhan yang dikelola dengan efisien dan
dilengkapi dengan fasilitas yang memadai akan membawa keuntungan dan dampak
positif bagi perdagangan dan perindustrian dari daerah penyangga tempat
pelabuhan tersebut berada.
Sebaliknya, perdagangan yang lancar dan
perindustrian yang tumbuh dan berkembang membutuhkan jasa pelabuhan yang
semakin meningkat yang akan mengakibatkan perkembangan pelabuhan. Bagi
negara-negara yang sedang berkembang peranan pelabuhan dijelaskan oleh J.A
Raven bahwa: pelabuhan memainkan peranan penting dalam perkembangan ekonomi,
jelas terlihat bahwa banyak negara berkembang di mana pelabuhan dapat berfungsi
secara bebas dan efisien telah mencapai kemajuan yang pesat. Seperti Singapura,
Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.
G. Pengembangan dan Perencanaan Pelabuhan
1.
Pengembangan Pelabuhan
Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai
transportasi yang menunjang roda perekonomian negara atau suatu daerah di mana
pelabuhan tersebut berada. Perindustrian, pertambangan, pertanian dan
perdagangan pada umumnya membutuhkan jasa transportasi termasuk jasa pelabuhan.
Oleh karenanya pengembangan suatu pelabuhan bukan saja untuk kepentingan
pelabuhan, tetapi juga akan mempengaruhi berbagai sektor yang ditunjang.
Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian
serta pertimbangan dalam pengembangan pelabuhan adalah:
a.
Pertumbuhan/perkembangan ekonomi daerah
penyangga (hinterland) dari pelabuhan yang bersangkutan.
b.
Perkembangan industri yang terkait dengan
pelabuhan
c.
Data arus (cargo flow) sekarang dan perkiraan
yang akan datang serta jenis dan macam komoditi yang akan keluar masuk.
d.
Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan akan
memasuki pelabuhan.
e.
Jaringan jalan (prasarana dan sarana angkutan
dari/ke daerah penyangga.
f.
Alur masuk/keluar menuju laut.
g.
Aspek nautis dan hidraulis
h.
Dampak keselamatan dan lingkungan hidup
i.
Analisa ekonomi dan keuangan
j.
Koordinasi antara lembaga penyelenggara yang
seimbang.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa betapa
kompleksnya perencanaan suatu pelabuhan, sehingga memerlukan koordinasi
berbagai aspek kegiatan serta melibatkan instansi yang terkait.
Suatu pelabuhan tidak bisa direncanakan dan
direkayasa begitu saja, baik sebagai terminal maupun untuk pelabuhan secara
utuh, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan prasarana yang menghubungkan
dari/ke daerah penyangga untuk mana pelabuhan tersebut dibangun.
Tinjauan pokok dari perencanaan pelabuhan harus
didasarkan pada kepentingan nasional. Perencanaan harus
mengetahui/mempertimbangan faktor tersebut di bawah ini sebelum mulai dengan
pengembangan pelabuhan yaitu:
a.
Kondisi fisik (survey, investigation, design)
dan konstruksi
b.
Pengguna jasa (port user)
c.
Perkembangan masyarakat
d.
Perkembangan ekonomi.
H. Pengelolaan Pelabuhan
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan masalah pengelolaan pelabuhan, di antaranya UU No.21 Tahun 1992
tentang Pelayaran. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 34 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota, PP No.69 Tahun 2001
tentang Kepelabuhanan, serta UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Di antara peraturan perundang-undangan tersebut
di atas, yang mengatur masalah pengelolaan pelabuhan secara khusus adalah PP
No.69 Tahun 2001. sedangkan peraturan perundang-undangan yang lain tidak
mengatur baik secara eksplisit.
Dalam Pasal 11 PP no.69 Tahun 2001 disebutkan
bahwa pengelolaan pelabuhan nasional, internasional dan hub port (pengumpul)
diserahkan kepada BUMN, dalam hal ini PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Namun
demikian, di sisi lain, UU No.32 Tahun 2004 dan
UU
No.34 Tahun 1999 mengisyaratkan adanya
pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah.
Penerapan dari peraturan perundang-undangan yang
dilaksanakan oleh aparat pemerintahan terjadi gesekan, terutama dalam hal
interpretasi. Di satu pihak, pemda merasa memiliki kewenangan untuk mengelola
pelabuhan yang menjadi yurisdiksi pusat (seperti yang tercantum Pasal 11 PP
No.69 Tahun 2001). Pertimbangan interpretasi ini adalah asas lex superiori
derogat legi inferiori. Bahwa PP tidak boleh bertentangan dengan UU yang
hirarkhinya lebih tinggi, yaitu UU No.32 Tahun 2004.
Sementara, pemerintah pusat, dalam hal ini
Depertemen Perhubungan dan PT. Pelindo berpijak pada asas lex specilais derogat
legi generalis. Alasannya, bahwa baik UU No.32 Tahun 2004 maupun UU No.34 Tahun
1999 tidak mengatur baik secara eksplisit maupun implisit mengenai pengelolaan
pelabuhan. Sehingga persoalan ini harus tunduk pada PP No.69 tahun 2001, selama
PP ini belum diubah.
Pasal 21 ayat (4) UU No.21 Tahun 1992
menyebutkan bahwa pengelolaan pelabuhan yang dilaksanakan secara terkoordinir
antara kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayaran jasa di pelabuhan diatur
lebih lanjut dengan PP. Sedangkan PP No.69 Tahun 2001 dalam pasal 1 huruf (7)
dan (10) serta Pasal 33 ayat (3) memberikan hak ”monopoli” kepada BUMN yang bergerak
di bidang pelabuhan, yaitu PT. Pelindo.
Pasal 9 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa pemerintahan dapat menetapkan kewenangan khusus dalam wilayah provinsi
dan atau kabupaten/kota. Pada ayat
(2) disebutkan bahwa kewenangan
khusus ini meliputi perdagangan bebas dan atau pelabuhan bebas ditetapkan
dengan Undang-undang. Artinya, pasal ini mengamanatkan adanya UU khusus yang
mengatur masalah perdagangan bebas dan atau pelabuhan bebas. Selain itu, Pasal
227 secara implisit juga memberikan wewenang pengelolaan pelabuhan oleh Pemda.
Pasal 1 angka (23) UU No.31 Tahun 2004 tentang
Perikanan menyebutkan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas
daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan atau bongkar muat ikan
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
perikanan.
Kemudian dalam Pasal 7 huruf (j) UU No.31 Tahun
2004 ini disebutkan bahwa dalam rangka kebijakan pengelolaan sumber daya ikan,
Menteri dapat menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan. Artinya bahwa dalam
hal pelabuhan perikanan (di mana tempat kapal perikanan bersandar), ada kewenangan menteri yang bersangkutan
untuk memantau kapal perikanan, dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
Undang-undang5.
Diskursus masalah pengelolaan pelabuhan oleh
pemda mengemuka ketika dikeluarkannya putusan MA terhadap judicial review PP
No.69 Tahun 2001 No. MA/DIT.TUN/90/VI/2004 pada 17 Juni 2004, yang diajukan
oleh Forum Deklarasi Balikpapan. Dalam putusan ekstra (extra vonis) ini
dinyatakan bahwa MA mengabulkan sebagian uji materiil terhadap PP tersebut.
Kemudian, diresmikannya pembangunan Pelabuhan Jakarta New Port (JNP) oleh
Gubernur Sutiyoso pada tanggal 26 Juli 2004, semakin mempertajam diskursus ini.
Analisis mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bab IV.
5 catatan:
kewenangan Menteri untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan tidak
hanya dalam konteks ketika kapal di pelabuhan, tetapi lebih dominan justru pada
saat kapal beroperasi menangkap ikan.
BAB III
TINJAUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERKAITAN DENGAN PELABUHAN
A.
Tinjauan Peraturan
1.
Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelayaran
Pelabuhan
sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang
sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara
dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan
dan mendororng pencapaian tujuan nasional, menetapkan wawasan nusantara serta
memperkukuh pertahanan nasional.
Pembinaan
pelabuhan yang dilakukan oleh pemerintah meliputi aspek pengaturan,
pengendalian dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan
kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian
pengarahan, bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan
aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan.
Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu
kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan
kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa
pelabuhan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong
profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan
serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan
pelayanan kepentingan umum.
Sementara itu untuk menciptakan Good Governance
dan Clean Government dalam penyelenggaraan pelabuhan yang selama ini masih
memberikan peranan yang sangat besar kepada pemerintah untuk bertindak sebagai
pengatur dan pelaksana harus dikurangi secara proporsional dengan cara
memberikan peran yang lebih luas kepada pihak swasta. Upaya-upaya tersebut
harus didukung dengan perangkat hukum yang jelas dan tegas agar pelaksanaannya
tidak menyimpang.
Perubahan besar lainnya yang harus diantisipasi
adalah dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan
diterbitkannya Undang-undang No.22 Tahun 1999 dan disempurnakan dengan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan membagi
urusan pemerintahan di bidang pelayaran baik kepada Pemerintah, Pemerintah
Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pertimbangan
revisi terhadap Undang-undang No.21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran
yaitu:
1.
Tuntutan yang lebih besar terhadap peran serta
swasta dalam penyelenggaraan pelayaran (tidak lagi monopoli) khususnya
memberikan kesempatan pada swasta dalam membangun dan menyelenggarakan
pelabuhan tersendiri tanpa harus bekerjasama dengan BUMN (PT.Pelindo)
2.
Tuntutan otonomi daerah, sehingga dalam
Rancangan undang-undang tentang Pelayaran telah diakomodasi kewenangan
Pemerintah Daerah dalam membangun dan menyelenggarakan pelabuhan umum baru
serta kewenangan pemerintahan di pelabuhan sesuai hierarki pelabuhan yang
dikelolanya yang meliputi penerbitan Izin Mendirikan bangunan (IMB), penetapan
Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan/Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan
(DLKR/DLKP), Rencana Induk Pelabuhan (Master Plan), Izin Pembangunan Pelabuhan
dan Izin Pengoperasian Pelabuhan.
3.
Kemajuan teknologi angkutan laut dengan
tumbuhnya jenis-jenis kapal penumpang cepat, kapal ro-ro dan kapal kontainer.
4.
Perkembangan angkutan multimoda, di mana
tuntutan kebutuhan angkutan multimoda tersebut di kawasan ASEAN sudah mendesak
dengan telah ditandatanganinya Agreement on Multimodal Transport oleh
negara-negara ASEAN. Untuk itu dalam rancangan undang-undang tentang Pelayaran
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Mengingat angkutan multimoda tidak hanya
terkait dengan moda angkutan laut maka pada rancangan undang-undang lainnya
diatur payung hukum mengenai multimodal transport.
5.
Tuntutan globalisasi/era perdagangan bebas yang
menuntut pelayaran agar lebih
efisien
dan mampu bersaing, di pasar global.
Beberapa materi pokok yang penting di bidang kepelabuhanan
yang merupakan materi baru atau merupakan perubahan norma dari Undang-undang
No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yaitu:
1.
Mengatur tatanan kepelabuhan sebagai pedoman
dalam perencanaan, pembangunan dan pengembangan pelabuhan di seluruh Indonesia
agar satu dengan yang lain tidak saling mematikan tetapi justru untuk lebih
bersinergi (untuk efisiensi nasional) karena penyelenggaraan pelabuhan umum
tidak monopoli oleh BUMN tapi boleh juga oleh swasta.
2.
Mengatur mengenai hierarki pelabuhan sebagai konsekwensi
adanya tatanan kepelabuhanan. Hierarki pelabuhan sangat penting dan diperlukan
karena merupakan bagian dari Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang akan
ditetapkan oleh Pemerintah.
3.
Mengatur pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMD dan BUMN serta
swasta sepanjang
memenuhi persyaratan dan Tatanan Kepelabuhanan Nasional (tidak lagi
monopolistik).
4.
Mengatur kewenangan pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah di pelabuhan sesuai dengan hierarki pelabuhannya.
5.
Sesuai dengan Rancangan Undang-undang tentang
Pelayaran ditetapkan hierarki peran dan fungsi pelabuhan sebagai berikut:
a.
Pelabuhan Utama Primer (internasional hub)
b.
Pelabuhan Utama Sekunder (internasional)
c.
Pelabuhan Utama Tersier (nasional)
d.
Pelabuhan Pengumpan Primer (regional)
e.
Pelabuhan Pengumpan Sekunder (lokal)
2.
Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah
Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan
pengelolaan pelabuhan oleh Pemda di antaranya:
a.
Undang-undang No.34 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta;
b.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhan.
Bahwa dengan diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004
(pengganti UU No.22 Tahun 1999) dan UU No.34 Tahun 1999 telah dilaksanakan
Otonomi Daerah di Provinsi DKI Jakarta yang ditandai dengan diserahkannya
kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya
sendiri.
Menindaklanjuti kewenangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, sesuai Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, telah ditetapkan
kewenangan di bidang-bidang apa saja yang diserahkan pelaksanaannya yang
meliputi sarana transportasi darat, laut dan udara. Di bidang perhubungan laut,
salah satunya yang diserahkan adalah kewenangan pengelolaan pelabuhan lokal dan
regional.
Kewenangan daerah, dalam hal pengelolaan lokal
dan regional sebagaimana dimaksud pada huruf b, juga diatur dalam Pasal 18 ayat
(1) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa:
1.
ayat (1)
a)
Gubernur menetapkan daerah lingkungan kerja dan
daerah lingkungan kepentingan pelabuhan regional setelah mendapat rekomendasi
Bupati/Walikota.
b)
Bupati/walikota menetapkan daerah lingkungan
kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan lokal.
2.
ayat (3)
Daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah ditetapkan, menjadi dasar dalam
melaksanakan kegiatan kepelabuhanan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka yang
memiliki kewenangan untuk menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah
lingkungan kepentingan pelabuhan nasional dan internasional adalah menteri
dalam hal ini menteri perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari gubernur
dan bupati/walikota.
Dengan demikian terhadap pengelolaan pelabuhan
nasional dan internasional, kewenangan tetap berada pada tingkat pemerintah
pusat dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh PT Pelindo sebagai BUMD
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun
kewenangan pengelolaan pelabuhan nasional/internasional dalam hal ini yang
terdapat di wilayah Provinsi DKI Jakarta berada di tangan pemerintah pusat,
namun sebagai tindak lanjut Pasal 31 ayat (1) UU No.34 Tahun 1999 dan Pasal 9
UU
No.32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
kewenangan daerah tersebut meliputi juga kawasan pelabuhan maka sebagai tindak
lanjutnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkeinginan untuk berperan serta
melaksanakan kewenangan dimaksud pada lokasi pelabuhan nasional/internasional
yang terdapat di wilayahnya.
Dalam pelaksanaannya kewenangan terhadap
pelabuhan nasional/internasional dimaksud, bukan berarti Pemda akan bertindak
semaunya, melainkan tetap dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dengan ketentuan dimaksud juga sudah dituangkan dalam revisi UU No.34
Tahun 1999 kewenangan dimaksud sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Sebagai ganti adanya kepentingan Pemda dalam hal
ikut berperan serta dalam pengelolaan kawasan pelabuhan nasional/internasional
adalah dengan dikabulkannya judicial review terhadap PP No.69 Tahun 2001, yang
berakibat batal demi hukum, keputusan Menteri Dalam Negeri yang telah
membatalkan Perda Kota Cilegon No.2 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan.
Akan tetapi mengingat kewenangan daerah dimaksud
sudah diatur dalam UU No.34 Tahun 1999, dan ternyata tidak sejalan dengan
materi yang diatur dengan PP No.69 Tahun 2001, dan telah ditindaklanjuti juga
dengan dikabulkannya Judicial review terhadap PP No.69 Tahun 2001, diharapkan
ke depan sambil menunggu ketentuan Peraturan Perundang-undangan lebih lanjut
mengaturnya, perlu diambil langkah-langkah secara proporsional yang membuat
adanya keterpaduan gerak langkah antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Pelindo
selaku pengelola pelabuhan Tanjung Priok, maka dapat dianggap telah memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan perekonomian daerah.
3.
Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelabuhan
Perikanan
a.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran
Pasal 22
ayat (2): ”Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan
masyarakat umum”.
Yang dimaksud pelabuhan umum meliputi pelabuhan
untuk melayani angkutan laut, angkutan sungai dan danau, dan angkutan
penyeberangan.
Termasuk dalam pengertian ini adalah pelabuhan
umum yang dipergunakan untuk membongkar dan memuat komoditi sejenis, misalnya
pelabuhan umum batubara, atau dipergunakan untuk melayani kapal sejenis
misalnya pelabuhan untuk kapal pelayaran rakyat, pelabuhan marina, dan lain
sebagainya.
Pelabuhan perikanan sebagai prasarana pengembangan perikanan, dalam aspek keselamatan
pelayaran diberlakukan ketentuan UU ini.
b.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan
Pasal 1 angka 23: ”Pelabuhan
perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal
perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan”.
Pasal 41
ayat (1): ”Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan”.
Dalam rangka pengembangan perikanan, Pemerintah
membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi antara lain sebagai
tempat tambat labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran
dan distribusi ikan, tempat pelaksanaan dan pembinaan mutu hasil perikanan,
tempat pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta
pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan
operasional kapal perikanan.
Pasal 41
ayat (2)
”Menteri
menetapkan:
a.
rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;
b.
klasifikasi pelabuhan
perikanan dan suatu tempat yang merupakan bagian perairan dan daratan
tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan;
c.
persyaratan dan/atau standar teknis dan
akreditasi kompetensi dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan,
dan pengawasan pelabuhan perikanan;
d.
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan.”
Untuk mendukung dan menjamin kelancaran
operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan
pengoperasian dalam koordinat geografis. Dalam hal wilayah kerja dan
pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan
kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui
koordinasi dengan instansi yang bersangkutan.
e.
pelabuhan
perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah.
Bahwa pihak swasta dapat membangun pelabuhan
perikanan atas persetujuan Menteri.
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2000 tentang
Perum Prasarana Perikanan Samudera
Pasal 7
Maksud
dan tujuan Perusahaan antara lain adalah:
untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan melalui penyediaan dan perbaikan
sarana dan/atau prasarana pelabuhan
perikanan.
Pasal 8
Untuk
mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, perusahaan
menyelenggarakan jasa-jasa sebagai berikut:
a. melaksanakan
usaha pelayanan umum bidang kegiatan prasarana perikanan;
b.menyediakan
fasilitas-fasilitas yang ada kaitannya dengan program pemerintah dalam
mengembangkan industri perikanan di Indonesia;
c. membangun,
memelihara, dan mengusahakan dermaga untuk bertambat dan bongkar muat ikan;
d.jasa terminal;
e.
membantu masalah-masalah yang dihadapi
nelayan/kapal yang berkaitan dengan sarana atau prasarana pelabuhan perikanan;
f.
mengoperasionalkan dan memberikan bantuan
manajemen pengelolaan aset pihak ketiga yang berkaitan dengan usaha perikanan;
g.
melakukan kegiatan lain yang dapat menunjang
tercapainya maksud dan tujuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
dengan persetujuan Menteri Keuangan.
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan
Pasal 4 ayat (1) huruf a: ”Pelabuhan menurut kegiatannya terdiri dari
pelabuhan yang melayani kegiatan angkutan laut yang selanjutnya disebut
pelabuhan laut”.
Pelabuhan laut dapat dipergunakan untuk kegiatan
menaikkan dan menurunkan penumpang, membongkar dan memuat barang umum, komiditi
sejenis atau untuk melayani kapal sejenis, seperti pelabuhan batu bara, pelabuhan perikanan sebagai prasarana
perikanan, dan pelabuhan untuk kapal
wisata sebagai pelabuhan marina.
e.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER/16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan
Pasal 1
angka 2
Pelabuhan Perikanan adalah
tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
perikanan.
Pasal 4
ayat (1)
Pelabuhan Perikanan mempunyai
fungsi fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran.
Pasal 5
ayat (1): ”Pemerintah menyelenggarakan dan membina Pelabuhan Perikanan
yang dibangun oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
BUMN, maupun perusahaan swasta”.
Ayat (2): ”Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
BUMN, maupun perusahaan swasta yang akan membangun pelabuhan perikanan wajib
mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional dan peraturan
pelaksanaannya”.
Ayat (3): ”Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui
pentahapan Study, Investigation, Detail Design, Contruction, Operation, dan
Maintenance”.
f.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.11/MEN/2003 tentang Pelabuhan Pangkalan
Pasal 1 angka 1: ”Pelabuhan Pangkalan adalah pelabuhan perikanan atau pelabuhan umum atau pelabuhan yang
dibangun swasta tempat kapal perikanan berpangkalan dan/ atau melakukan
pendaratan ikan”.
Pasal 1 angka 2: ”Pelabuhan Muat/Singgah adalah pelabuhan perikanan atau pelabuhan umum atau pelabuhan yang
dibangun swasta yang dipergunakan oleh kapal pengangkut ikan untuk mengisi
muatan (ikan) dan perbekalan”.
g.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 55 Tahun
2002 tentang Pengelolaan Pelabuhan Khusus
Pasal 3
Pelabuhan
khusus dikelola untuk menunjang kegiatan usaha pokok tertentu di bidang
1) pertambangan;
2) perindustrian;
3) pertanian;
4) kehutanan;
5) perikanan;
6) pariwisata;
atau
7) bidang
lainnya yang dalam pelaksanaan kegiatan usaha pokoknya memerlukan fasilitas
pelabuhan.
4.
Konvensi Internasional
a.
IMO (International Maritime Organisation) yang
telah diratifikasi pada tanggal 1 Juli 2004. Bahwa pelabuhan dan kapal yang
melayani pelayaran internasional diwajibkan memenuhi strandar IMO.
b.
ISPS (International Ship dan Port Facilities
Security Code). Bahwa pengelola pelabuhan dan perusahaan pelayaran harus
memenuhi persyaratan sertifikasi ketentuan keamanan fasilitas pelabuhan dan
kapal internasional.
Dengan
ratifikasi konvensi internasional tersebut, pengelolaan pelabuhan,
terutama yang melayani angkutan regional dan internasional, tidak bisa
disamakan dengan set lain, karena pengelolaan pelabuhan terikat dengan aturan
konvensi tersebut. Jika aturan ini diabaikan, maka barang yang diekspor dari Indonesia
juga tidak bisa diterima atau dilarang masuk ke pasal dunia (OTW/JAN/fer/tat,
“Daerah Tidak Berhak Ambil Alih Pelabuhan”, www.Kompas.com,
diakses 18 September 2006).
Adapun daftar konvensi internasional bidang
Maritim yang telah diratifikasi enam tahun terakhir dapat dilihat dalam tebel
berikut:
|
No.
|
Konvensi Internasional
|
|
Ratifikasi
|
|
|
1.
|
Amendments
of 1991 of the IMO Convention (IMO Amendments
|
Keputusan
Presiden No. 16
|
||
|
|
'91)
|
|
Tahun
1997
|
|
|
2.
|
Amendments
of 1993 of the IMO Convention (IMO Amendments
|
Keputusan
Presiden No. 16
|
||
|
|
'93)
|
|
Tahun
1997
|
|
|
3.
|
International
Convention for the Safety of Life at Sea, 1974
|
Keputusan
Presiden No. 47
|
||
|
|
(SOLAS
74)
|
Tahun
1980
|
||
|
4.
|
Internasional
Safety Management Code (ISM-Code)
|
|
|
|
|
5.
|
Intermational
Code of Safety for High Speed Craft (HSC Code)
|
|
|
|
|
6.
|
International
and Port Security Code (ISPS Code)
|
Keputusan
Menhub No. KM
|
||
|
|
|
|
33/2003
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(http://www.kkppi.go.id/papers.htm, 5
Desember 2006)
|
|||
|
|
|
|
|
|
B.
Praktek di Lapangan
1. Putusan MA mengenai Judicial Review terhadap PP
No.69 Tahun 2001 dan Kepmendagri No.112 Tahun 2003
MA mengabulkan sebagian uji materiil (judicial
review) yang diajukan oleh Forum Deklarasi Balikpapan (FDB) atas PP No.69 Tahun
2001. Putusan ini bernomor 12 P/HUM/2003 tanggal 28 Mei 2004. Hal ini disambut
positif oleh para pemerintah kabupaten dan kota yang tergabung dalam FDB,
termasuk Pemkot Cilegon (Putusan MA No.12 P/HUM/2003 terlampir).
Kemudian, MA juga mengabulkan permohonan hak uji
materiil terhadap Kepmendagri RI Tanggal 4 November 2003 No.112 Tahun 2003
perihal Pembatalan Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhan di Kota Cilegon (Putusan MA No.21P/HUM/2003 terlampir). Dengan
dikabulkannya permohonan uji materiil Surat Keputusan Menteri Dalam Negari
(Mendagri) nomor 112 Tahun 2003 tanggal 4 November 2003, yang membatalkan
Peraturan Daerah (Perda) Kota Cilegon no.1 Tahun 2001 mengenai pengelolaan
pelabuhan oleh Pemkot Cilegon dinyatakan batal demi hukum. Artinya, hal ini
sekaligus memberikan dasar yang kuat bagi Pemkot Cilegon untuk tetap melaksanakan Perda Kepelabuhan
di Kota Cilegon (“Pemkot Cilegon Menangkan Gugatan Pengelolaan Pelabuhan”, www.
tempointeraktif.com, diakses tanggal 9 Juli 2006).
Dengan dikabulkannya sebagian uji materiil
terhadap PP No.69 Tahun 2001, maka kewenangan-kewenangan yan dimiliki oleh
daerah harus diserahakan kepada daerah termasuk kewenangan mengelola
kepelabuhan, seperti masalah regulasi.
Namun, reaksi ini mendapat counter, terutama
dari pihak Dephub dan PT. Pelindo. Mereka menganggap bahwa putusan MA ini tidak
memberikan serta merta memberikan hak bagi Pemda untuk mengambil alih
pengelolaan pemda.
Dalam pernyataan sikap bersama dari Departemen
Perhubungan, kementerian BUMN, para direksi PT Pelindo I-IV dan Serikat Pekerja
Pelabuhan dan Pengerukan Seluruh Indonesia, disebutkan bahwa ekstra vonis MA
No. MA/DIT.TUN/90/VI/2004 tidak dapat dijadikan landasan hukum bagi pemerintah
daerah untuk menerbitkan peraturan daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan
pelabuhan. Karena extra vonis ini bukan putusan MA terhadap judicial review PP
No. 69 Tahun 2001 yang diajukan Forum Deklarasi Balikpapan (gabungan beberapa
Pemda), melainkan hanya bersisi tentang revisi beberapa pasal (Y-4, “Pemda Tak
Berhak Ambil Alih Pengelolaan Pelabuhan”, www.suarapembaruan.com/News/22004/08/24/index.html).
Dengan demikian, menurut pernyataan sikap ini,
selama vonis terhadap judicial review belum ditetapkan, PP No.69 Tahun 2001
tetap berlaku sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan jasa kepelabuhan di
Indonesia.
Diskursus mengenai pengelolaan pelabuhan inilah
pencetus ide dari pihak regulator, dalam hal ini Departemen Perhubungan, untuk
merevisi UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Saat ini sedang dibahas RUU
tentang Pelayaran yang salah satu isinya adalah mengakomodir kepentingan pemda
untuk mengelola pelabuhan.
RUU ini memberi kesempatan seluasnya, tidak hanya kepada PT. Pelindo,
tetapi juga kepada Pemda (Provinsi dan Kabupaten/kota) dan pihak swasta yang
tertarik bergerak di bidang kepelabuhanan, yang harus disuaikan dengan
kemampuan, baik dana, SDM maupun infrastruktur. RUU ini ingin mensinergikan
dengan UU no.32 Tahun 2004, dengan menghapus kewenangan monopoli bagi PT
Pelindo.
Mengenai pelimpahan pelabuhan lokal maupun
regional kepada pemda, menurut Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan,
tidak serta merta dan dalam waktu singkat, karena ada prosedur yang harus
dilalui dan terkait dengan beberapa instansi lain, seperti BUMN dan Depkeu.
Oleh sebab itu, Menteri Perhubungan sejak juni 2002 telah mencanangkan
penyerahan pengelolaan pelabuhan lokal dan regional kepada Pemda. Namun pada
pertengahan Juni 2006 baru 10 pelabuhan lokal yang telah diserahkan pada pemda.
Visi dari RUU Pelayaran ini adalah pengelolaan pelabuhan berbasis sinergi
dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Disampaikan oleh Sudaryoko,
perwakilan dari Ditjen Perla Dephub, sebagai anggota tim “Analisa dan Evaluasi
Hukum tentang Pengelolaan Pelabuhan oleh Pemda”, pada Rapat tim yang ke-dua, 27
Juli 2006 di BPHN, Jakarta).
2. Pembangunan Jakarta New Port
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang meresmikan
pembangunan proyek ”raksasa” Jakarta New Port pada 26 Juli 2004, menimbulkan
reaksi keras dari PT Pelindo dan Departemen Perhubungan. Karena pembangunan JNP
ini dilakukan di wilayah otoritas Pelindo II, yaitu di kawasan kompleks
Pelabuhan Tanjung Priok. Pihak yang kedua ini menyatakan pendapat bahwa
pembangunan pelabuhan nasional yang bersifat internasional berada di bawah
pengawasan Menteri Perhubungan sebagaimana ditetapkan Pasal 11 PP No.69 Tahun
2001 tentang Kepelabuhan, yaitu berada di bawah BUMN yang dalam hal ini adalah
PT Pelindo (Martinus Udin Silalahi, ”Persaingan Bisnis: Mencermati Kehadiran Jakarta New Port,
Pendukung Pelabuhan Tanjung Priok atau Pesaing?”, www.sinarharapan.co.id,
diakses pada 18 September 2006).
Sementara, Pemprov DKI Jakarta berpendapat bahwa
pembanungan JNP tidak bertentangan dengan ketentuan PP No.60 Tahun 2001.
Pemprov. DKI diberi kewenangan mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan di
DKI termasuk mengenai pembangunan JNP berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Selain itu, menurut pendapat Pemprov DKI, PP 25
Tahun 2000 tentang kewenangan provinsi sebagai otonomi daerah, telah
menggariskan kewenangan Pemda dalam pengelolahan pelabuhan. Hal ini diperkuat
lagi oleh putsan MA mengenai judicial review terhadap PP No.69 Tahun 2001.
Beberapa alasan dari pihak-pihak yang memandang
positif pembangunan JNP (di antaranya Ketua UMUM Indonesia Shipowner
Association Oentoro Surya, Ketua Umum KADIN Muhammad Suleiman Hidayat,
pemerhati manajemen dan transoprtasi pelayaran Ronald Nanggoi) adalah:
-
Pengelolaan jada pelabuhan nasional masih
dimonopoli oleh BUMN, yaitu PT Pelindo. Akibatnya, produktivitas pelabuhan
rendah dan port-days (lama sandar) tinggi. Sehingga kenyataan yang terjadi
adalah kurangnya inisiatif melakukan perubahan manajemen sistem pelayaran. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh ketiadaan pesaing pelaku usaha pada pasar yang besangkutan.
Hal ini menjadi tantangan bagi pelondo dalam meningkatkan kwalitas pelayanan.
-
Dengan rancana JNP, dari aspek perasingan usaha
akan membawa dampak positif, karena persaingan akan mendorong terjadinya
efisiensi dan inovasi yang akan menguntungkan konsumen. (”Jakarta New Port
Pendukung atau Pesaing Pelabuhan Tanjung Priok?”, www.sinarharapan.com)
3. Tarik Menarik Kepentingan Antar Instansi
Persoalan kepelabuhan adalah persoalan yang
multi sektoral. Karena, di pelabuhan ini ada kewenangan di bawah Departemen
Perhubungan, ada kewenangan di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemda,
Bea cukai, keimigrasian, BUMN, masalah karantina, serta yang berkaitan dengan
hukum internasional. Oleh karenanya, banyak benturan yang sering terjadi dalam
praktek. Terutama adalah masalah tarik menarik kepentingan, di antaranya, yang
terjadi antara Pemda dan Departemen Perhubungan, antara Pemda dan Departemen
Kelautan dan Perikanan, antara Pemda dan PT Pelindo, antara Departemen
Perhubungan, PT Pelindo dan Kementerian BUMN dan peran PT Pelindo yang
overleaping dengan Departemen Perhubungan.
a.
Antara Pemda dengan Pemerintah Pusat
Pemda merasa ada ketidaksinkronan dan
ketidaksinergian antara kewenangan yang diberikan kepada pemda oleh pemerintah
pusat dalam pengelolaan pelabuhan. Narasumber Tim AE, yaitu Kepala Sub Dinas
Urusan Pelabuhan DKI Turipno memberikan penjelasan tentang tarik menarik
kepentingan antar instansi. Di antaranya, adanya persepsi yang simpang siur
masalah kewenangan yang dimaksud oleh UU No.32 Tahun 2004. Sebelumnya, yaitu UU
No.22 Tahun 1999, secara tegas berbicara mengenai kewenangan pemerintah daerah.
Sedangkan UU No.32 Tahun 2004 mengubahnya menjadi ”kewenangan” menjadi
”urusan”, yang menurutnya menimbulkan masalah lagi mengenai pelaksanaannya
dalam praktek. Sebab bisa membawa multitafsir bagi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Sehingga, sehingga teknis pelaksanaan kewenangan yang
seharusnya sudah konkrit dalam UU No.22 Tahun 1999, kembali dikaburkan oleh UU
No.32 Tahun 2004.
Kemudian, mengenai kekhawatiran pemerintah pusat
mengenai sumber daya manusia yang kurang memadai dari pemda, menurut pandangan
Pemda (khususnya Pemda DKI), seharusnya tidak menjadi masalah yang menetap,
karena secara bertahap hal itu bisa dikembangkan dengan pelatihan yang
diberikan oleh pihak pemerintah pusat. Hal ini tentunya membutuhkan political
will dari pemerintah pusat itu sendiri. Apalagi, dalam konvensi Internasional
IMO, tidak menyebutkan larangan dikelolanya pelabuhan oleh pihak selain
pemerintah pusat (yang telah ditunjuk), dengan melaporkan siapa-siap saja pihak
yang diberikan kewenangan itu kepada IMO. Ketidaksingkronan pola pikir dan
sudut pandang mengenai aturan main kewenangan pengelolaan pelabuhan oleh pemda
inilah yang akhirnya memunculkan beberapa gugatan judicial review terhadap
peraturan tetang pelabuhan, dibentukanya deklarasi balikpapan yang misinya
menguatkan kewenangan pemda-pemda di Indonesia (khususnya mengenai pengelolaan
pelabuhan), serta petentangan-pertentangan argumentatif baik secara terbuka di
media massa, maupun dalam kajian-kajian akademis.
b.
Antara DKP dan Pemda
Dalam praktik di lapangan, timbul permasalahan di antara pihak-pihak
yang terkait dalam pengelolaan pelabuhan perikanan, seperti Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Perum
Prasarana Perikanan Samudera, dan/atau Pemerintah Daerah.
Permasalahan
tersebut antara lain berupa:
1.
Permasalahan antara UPT Pelabuhan Perikanan
dengan Perum Prasarana Perikanan Samudera:
a. Terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas antara UPT
Pelabuhan Perikanan dengan Perum Prasarana Perikanan Samudera, yakni berkenaan dengan:
(1) Tambat Labuh
Bidang Tata Operasional UPT Pelabuhan Perikanan mempunyai
tugas antara lain melaksanakan pelayanan teknis kapal perikanan dan
kesyahbandaran perikanan, fasilitasi pemasaran dan distribusi hasil perikanan.
Istilah ”pelayanan teknis” meliputi juga pelayanan tambat labuh. Sementara itu,
dalam uraian tugas Perum Prasarana Perikanan Samudera disebutkan bahwa Perum Prasarana Perikanan Samudera memberikan pelayanan tambat labuh.
(2) Pengelolaan aset-aset UPT Pelabuhan Perikanan
Aset-aset UPT Pelabuhan Perikanan yang merupakan hasil
pembangunan Pelabuhan di wilayah Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman
telah dikelola lebih awal oleh pihak Perum. Sementara itu, aset-aset tersebut
belum diserahkan sebagai aset Perum. Aset-aset tersebut antara lain TLC (Tuna Landing
Centre) bagian tengah, ¼ PPI, dan sebagian dari Dock.
b. Keberatan UPT Pelabuhan Perikanan mengenai
tanggung jawab dalam pengelolaan kebersihan di lingkungan pelabuhan perikanan,
termasuk sarana yang telah diserahkan kepada Perum Prasarana Perikanan Samudera.
2.
Permasalahan antara Perum Prasarana Perikanan
Samudera dengan Pemerintah Daerah:
a.
Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
timbul interpretasi yang berbeda-beda di setiap daerah mengenai seberapa jauh atau seberapa besar kontribusi ekonomi dan finansial yang
dapat diperoleh daerah dari adanya kegiatan bisnis yang selama ini dilakukan
oleh Perum Prasarana Perikanan Samudera.
b. Beberapa
Pemerintah Daerah bahkan menuntut agar pengelolaan pelabuhan perikanan yang
selama ini dilakukan oleh Perum Prasarana Perikanan Samudera dapat diserahkan
kepada Pemerintah Daerah.
c.
Lebih dari itu, ada Pemerintah Daerah yang
secara sepihak menetapkan dan mengambil alih lahan tanah milik Perum Prasarana
Perikanan Samudera yang ada di daerahnya. Akibatnya, perusahaan perikanan
swasta yang telah mengadakan kontrak sewa tanah di Kawasan Perum Prasarana
Perikanan Samudera mengalami hambatan dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB).
d.
Selain itu, ada Pemerintah Daerah yang
mengeluarkan Keputusan Kepala Daerah dengan menyatakan bahwa seluruh perizinan,
pengurusan, urusan sewa menyewa lahan dan bangunan serta penarikan retribusinya
hanya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Unit Pelaksana Daerah
(UPD) Pengelola Pelabuhan Khusus. Hal ini telah menimbulkan permasalahan yaitu:
- Terjadi penumpukan barang
di kawasan pelabuhan dan kerusakan dermaga/jetty akibat kendaraan dan muatan
barang yang masuk ke kawasan Perum Prasarana Perikanan Samudera yang tidak
terkontrol.
-
Keresahan para pengusaha perikanan karena semua
perjanjian dan kewajiban yang telah dilaksanakan dengan Perum Prasarana
Perikanan Samudera akan diperbaharui oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
-
Lahan yang telah dikontrak oleh pengusaha dari
Perum Prasarana Perikanan Samudera, digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk
membangun fasilitas lain.
-
Pengelolaan tambat labuh kapal atas dermaga dan
areal pelabuhan sebagai aset Perum Prasarana Perikanan Samudera akan diambil
alih UPD.
3.
Permasalahan antara Departemen Kelautan dan
Perikanan dengan Pemerintah Daerah atau antar Pemerintah Daerah:
a.
Sejalan dengan perkembangan pelaksanaan otonomi
daerah, khususnya setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, sebagian besar Pemerintah Daerah yang ”memiliki”
wilayah laut meminta kepada Pemerintah Pusat untuk dapat mengelola pelabuhan
perikanan.
b.
Dengan pertimbangan tertentu, akhirnya
Pemerintah Pusat telah menyerahkan sebagian kewenangan di bidang pengelolaan
pelabuhan perikanan kepada Pemerintah Daerah, namun terbatas pada pengelolaan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP).
c.
Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan
Pemerintah Pusat pada waktu itu adalah:
(1)
PPP hanya melayani kapal-kapal perikanan dengan
ukuran relatif kecil (minimal 10 GT);
(2)
Panjang dermaga minimal 100 meter dengan
kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 meter.
(3)
Kapal-kapal yang dilayani melakukan penangkapan
ikan di wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan
ZEEI.
d.
Dalam perkembangannya, pengelolaan pelabuhan
perikanan oleh Pemerintah Daerah mengalami beberapa permasalahan, antara lain
yaitu:
(1)
Terdapat tarik-menarik kewenangan pengelolaan
PPP antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini
terjadi karena PPP tersebut berlokasi di wilayah Pemerintah Kabupaten/Kota,
akan tetapi kewenangan dimiliki oleh Pemerintah Provinsi.
(2)
Oleh karena tarik-menarik kewenangan tersebut
terkait dengan perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pemerintah
Kabupaten/Kota menuntut agar Pemerintah Provinsi memberikan kontribusi dari
hasil pengelolaan pelabuhan perikanan tersebut kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan PAD.
(3)
Karena Pemerintah Provinsi juga dituntut untuk
menghasilkan PAD dari pengelolaan pelabuhan perikanan tersebut, akibatnya
pengelola pelabuhan menaikkan/menambah retribusi, sehingga hasilnya
dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini
berdampak pada bertambahnya beban pengusaha perikanan.
(4)
Untuk mendapatkan kewenangan pengelolaan
pelabuhan perikanan, ada pula Pemerintah Provinsi yang berusaha menaikkan
status Pangkalan Pendaratan Ikan/PPI yang ada di wilayahnya menjadi PPP. Dengan
status PPP, maka PPI yang semula merupakan
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, diharapkan berubah menjadi kewenangan
Pemerintah Provinsi.
(5)
Di sisi lain, ada pula Pemerintah Provinsi yang
menyatakan tidak mampu mengelola PPP, sehingga kewenangan pengelolaannya
dikembalikan kepada Pemerintah Pusat. Kondisi ini biasanya terjadi pada
daerah-daerah di mana sarana dan prasarana yang dimiliki PPP sangat terbatas,
dan untuk memperbaikinya diperlukan biaya yang sangat besar.
c. Antara
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
Persoalan yang sering terjadi antara Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat (Cq. Departemen Perhubungan yang secara teknis
dilaksanakan oleh PT Pelindo) sebenarnya berakar dari Peraturan
perundang-undangan yang tidak komprehensip.
UU
No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Pasal 21
ayat (4) mengamanatkan peraturan lebih lanjut yang mengatur kepelabuhanan.
Terkait dengan pengelolaan pelabuhan oleh pemda, maka tidak dapat dilepaskan
dari undang-undang tentang Pemda, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. UU No.32 Tahun 2004 mengatur tentang
”urusan” (dalam Pasal 11 ayat (3) dibagi menjadi: ”urusan wajib” dan ”urusan
pilihan”). Menurut Kasub Dinas Urusan Pelabuhan Jakarta Turipno, persoalan
”urusan” ini dalam prakteknya sulit dinterpretasikan. Sebelum diganti menjadi
UU No.32 tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1999 mengatur persoalan ini lebih konkrit,
karena UU ini berbicara masalah “kewenangan”. Sehingga lebih mudah untuk
dilaksanakan di lapangan.
Menurut persepsi Pemda (hal ini dapat dilihat
dari pendapat asosiasi pemda-pemda se-Indonesia yang diberi nama Deklarasi
Balikpapan), UU No.22 Tahun 1999 lebih ideal dalam hal pengelolaan pelabuhan
oleh pemda. Sebelumnya, UU Pelayaran jo PP No.69 Tahun 2001 terlalu
sentralistik. Justru dengan keluarnya UU No.22 Tahun 1999 perhubungan laut di
lapangan dapat melaksanakan tugas secara proaktif. Namun, ketika keluarnya UU
No.32 Tahun 2004, seakan keadaan yang ideal mengalami titik balik. Apalagi,
dalam PP No.69 Tahun 2001 mengatur masalah hirarki peran dan fungsi pelabuhan
laut (Pasal 4 dan Pasal 5) yang sama sekali tidak diatur dalam UU Pelayaran.
Menurut Pemda pasal ini dibuat justru untuk mengebiri kewenangan pemda.
Sebagai contoh, hirarki peran dan fungsi yang
dimiliki Pemda DKI jika mengikuti PP No. 69 Tahun 2001 praktis tidak berjalan.
Karena pada kenyataannya, pelabuhan di wilayah DKI tidak ada yang hanya
melayani hubungan antar propinsi atau kabupaten/kota. Sebagaimana UU Pemda
memberi kewenangan urusan pelabuhan yang berada di wilayahnya, maka sudah
selayaknya pemda diberikan kewenangan mengelola pelabuhan, baik dalam kriteria
internasional maupun nasional (Dalam Deklarasi Balikpapan Bidang Kepelabuhan
pada poin 4a disebutkan bawa ”pembagian hirarki pelabuhan atas Internasional
hubungan, internasional, nasional, regional dan lokal mengeliminir dan memasung
kewenangan pemda dan menimbulkan duplikasi pengaturan kewenangan pemda
sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 dan PP No.25 Tahun 2000”. Lihat:
hasil Rapat Konsultasi Nasional tentang jkpntribuso BUMN Bidang Kepelabuhanan
tanggal 25-26 September 2002 di Kota Balikpapan).
Mengenai ketentuan konvensi internasional,
menurut perspektif pemda, pengelolaan pelabuhan oleh pemda tidak menyalahi
aturan. Sebab dalam konvensi IMO tidak ada larangan pelaksana dilaksanakan oleh non
pemerintah, asalkan administratornya melaporkan tentang instansi pelaksananya.
Sementara mengenai SDM pemda yang disanksikan, tidak dapat menjadi alasan yang
signifikan. Karena hal itu dapat diusahakan secara bertahap dengan bimbingan
dari pusat (mengingat gubernur/walikota/bupati merupakan wakil pemerintah pusat
di daerah, sehingga dapat bersinergi antara pusat dan daerah).
Jika kita melihat peta permasalahan yang menjadi
alasan pro kontra pengelolaan pelabuhan oleh pemda dapat digambarkan sebagai
berikut:
|
Argumen Pendukung
|
Argumen Penentang
|
|
|
|
|
Kewenangan pengelolaan
pelabuhan
|
Pengelolaan pelabuhan
merupakan
|
|
bukan termasuk kewenangan
yang
|
hal yang sulit sehingga
dikhawatirkan
|
|
dikecualikan sebagaimana
diatur
|
jika dikuasai pemerintah
daerah,
|
|
dalam pasal 7 UU No.
22/1999. Selain
|
justru hanya akan
menyebabkan
|
|
itu, pasal
|
kebangkrutan. Hal ini
juga dapat
|
|
119 menegaskan bahwa
kawasan
|
menimbulkan dampak
negatif
|
|
pelabuhan termasuk
kewenangan
|
terhadap Indonesia dalam
hubungan
|
|
kabupaten/kota. (catatan:
UU
|
perdagangan internasional
yang
|
|
22/1999 diganti dengan UU
32/2005
|
membutuhkan pelabuhan
|
|
yang tidak lagi
membicarakan
|
(Dorodjatun
|
|
tentang kewenangan”,
melainkan
|
Kuntjoro-Jakti).
|
|
”urusan” yang bidangnya
sama
|
|
|
dengan Pasal 7 UU 22/1999
– pen.)
|
|
|
|
|
|
Pengelolaan pelabuhan
menjadi
|
Selama Peraturan
Pemerintah Nomor
|
|
wewenang pemda setelah 27
pasal
|
69 Tahun 2001 tentang
pelaksanaan
|
|
dalam PP No. 69/2001
dibatalkan oleh
|
teknis
|
|
MA. Dengan demikian, PT
Pelindo kini
|
kepelabuhanan-sebagai
dasar hukum
|
|
hanya operator di kawasan
pelabuhan,
|
dalam pengelolaan teknis
pelabuhan-
|
|
karena regulator
kepelabuhanan
|
belum diubah atau
dicabut,
|
|
menjadi wewenang pemda
(Rusli
|
pengelolaan pelabuhan di
seluruh
|
|
Ridwan, Bendahara FDB).
|
Indonesia tetap
dilaksanakan PT
|
|
|
Pelindo (Kabag Hukum
Ditjen Hubla
|
|
|
Dephub).
|
|
|
|
|
Penempatan UPT Dephub di
daerah
|
Pengelolaan pelabuhan
tidak bisa
|
|
akan menimbulkan
overlapping tugas
|
disamakan dengan aset
lain karena
|
|
Argumen Pendukung
|
Argumen Penentang
|
|
|
|
|
dan kewenangan dengan
aparatur
|
pengelolaan pelabuhan
terikat
|
|
hubungan laut di daerah.
Disamping
|
dengan berbagai aturan
|
|
itu, hal ini juga
menyebabkan
|
internasional. Jika
aturan tersebut
|
|
terganggunya kinerja
daerah sekaligus
|
diabaikan, maka barang
yang
|
|
bertabrakan dengan
Kepmendagri No.
|
diekspor dari Indonesia
juga tidak
|
|
130-67 / 2002 (Kadis
|
bisa diterima atau
dilarang masuk ke
|
|
Perhubungan Kabupaten
Brebes).
|
pasar dunia. Aturan
internasional itu
|
|
|
di antaranya tentang
standar
|
|
|
Organisasi Maritim
Internasional /
|
|
|
IMO dan International
Ship and Port
|
|
|
Facilities Security Code
/ ISPS
|
|
|
(Hasyim Djalal).
|
|
|
|
|
Perda kepelabuhanan itu
diperlukan
|
Investor akan takut masuk
karena
|
|
pemda karena pelaksanaan
|
tidak adanya jaminan
terhadap
|
|
kewenangan pengelolaan
pelabuhan di
|
kontrak yang bisa
dipegang. Sekali
|
|
daerah sering memicu
konflik atau
|
pengambilalihan itu
dibiarkan terjadi,
|
|
benturan dengan PT
Pelindo (Pemkot
|
bisa seperti bola liar
yang akan terus
|
|
Dumai).
|
menggelinding dan
memunculkan
|
|
|
tuntutan pengambilalihan
atas aset-
|
|
|
aset negara atau aset
perusahaan-
|
|
|
perusahaan lain yang
|
|
|
menguntungkan yang ada
daerah,
|
|
|
oleh pemda (Chatib
Basri).
|
|
|
|
|
Dapat mendatangkan income
daerah
|
Perda pengelolaan
pelabuhan
|
|
dan telah mampu
meningkatkan
|
bertentangan dengan
kepentingan
|
|
kesejahteraan
|
umum dan peraturan
perundangan
|
|
masyarakat di berbagai
bidang
|
yang lebih tinggi seperti
UU No
|
|
(Pendapat umum berbagai
Pemda
|
21/1992 tentang
Pelayaran, PP No
|
|
yang telah memiliki Perda
Pengelolaan
|
81/2000 tentang
Kenavigasian, serta
|
|
Pelabuhan)
|
PP No 69/2001 tentang
|
|
|
Kepelabuhanan
(Kepmendagri No. 53
|
|
|
dan 112 tahun 2003).
|
|
|
|
(Disadur dari artikel Tri Widodo W. Utomo ”Mencermati Polemik
Pengelolaan Pelabuhan”, http://www.geocities.com/triwidodowu/pelabuhan.pdf,
13 Oktober 2006.)
BAB IV
ANALISIS DAN EVALUASI
PENGELOLAAN PELABUHAN OLEH PEMDA
A. Pelabuhan sebagai Wilayah Multisektoral dan
Multidimensional
Pelabuhan merupakan suatu tempat dimana terjadi
berbagai aktivitas pemerintahan, bisnis, perdagangan, pariwisata, ekonomi dan
lain-lain. Selain itu di pelabuhan, berbagai komoditi diperdagangkan dan
diperjualbelikan dengan menggunakan berbagai sistem perekonomian yang ada.
Berbagai aktivitas di pelabuhan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan nilai tambah dan kemanfaatan yang tidak sedikit bagi masyarakat,
usahawan dan pemerintah. Nilai tambah dan manfaat tersebut dapat berupa jasa,
uang, barang, kesejahteraan, dan berbagai manfaat serta nilai-nilai ekonomis
lainnya yang dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh berbagai lapisan dan
kelompok stakeholder yang ada, baik yang berada di sekitar lingkungan
pelabuhan, maupun di luar lingkungan pelabuhan yang ada.
Oleh karena itu, pelabuhan sebenarnya memegang
peranan penting dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan perekonomian yang ada
di suatu negara. Selain itu, aktivitas di pelabuhan, baik langsung maupun tidak
langsung, juga berkaitan dengan berbagai aspek utama pemerintahan, seperti
security, authority, transportasi, dan lain sebagainya. Pada prakteknya, sektor
pelabuhan juga berkaitan erat dengan berbagai regulasi internasional yang
mengatur mengenai pelayaran dan pelabuhan, seperti konvensi-konvensi
internasional yang berkaitan dengan IMO (International Maritime Organisation),
ISPS (International Ship and Port Facility Security Code), International
Convention for the Safety of Life at Sea (Solas)
dan berbagai
konvensi internasional dalam bidang perdagangan dan pasar bebas, seperti WTO
(World Trade Organisation) dan lainnya. Selain itu secara nasional, pengelolaan
pelabuhan juga berkaitan erat dengan berbagai Undang-Undang (UU) lainnya,
seperti UU Perikanan, UU Pemerintahan Daerah, UU tentang Pabean, UU Lingkungan
Hidup, UU Karantina Perikanan, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan
berbagai undang-undang lainnya.
Dengan demikian, pengelolaan pelabuhan pada
dasarnya, tidak hanya berkaitan dengan regulasi yang sifatnya nasional, akan
tetapi juga sangat berkaitan dengan berbagai regulasi dan konvensi yang
bersifat regional, internasional. Selain itu, pengelolaan pelabuhan tidak hanya
semata-mata berkaitan dengan sektor pemerintahan, akan tetapi juga berkaitan
dengan berbagai sektor di bidang perekonomian, khususnya perdagangan dan
transportasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengelolaan pelabuhan
adalah pengelolaan yang sifatnya multi sektoral dan multi dimensional.
Dengan
kata lain, kewenangan daerah di wilayah laut ini sebaikya lebih
dimaknai
sebagai “manajemen pelabuhan”, dan bukan “penguasaan pelabuhan”
(meminjam istilah
Tri Widodo W.
Utomo, ”Mencermati Polemik
Pengelolaan
Pelabuhan”, http://www.geocities.com/triwidodowu/pelabuhan.pdf,
13 Oktober 2006). Artinya, perlu disadari bahwa
pengertian “pengelolaan pelabuhan” sesungguhnya bukan dalam arti sempit sebagai pengelolaan dermaga dan
infrastruktur fisik pelabuhan lainnya, melainkan juga menyangkut keselamatan
lalu lintas pelayaran, sistem navigasi dan persandian, perijinan bagi kapal
yang akan berlabuh atau berlayar, administrasi bongkar muat, dan sebagainya.
Kewenangan teknis seperti itu sangat mensyaratkan kemampuan yang handal dari
SDM dan perangkat sistem kediklatan pendukungnya. Tanpa adanya human-ware yang
memadai, maka pengambilalihan pengelolaan pelabuhan hanya akan mendatangkan kerugian baik bagi pemerintah pusat, pemerintah
daerah, maupun masyarakat di wilayah tersebut.
B. Kewenangan Pengelolaan Pelabuhan
Sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengelolaan
pelabuhan pada dasarnya berkaitan dengan berbagai sektor yang ada di suatu
negara, dan juga berkaitan dengan berbagai regulasi yang sifatnya regional dan
internasional. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan pelabuhan mempunyai dasar
pengaturan yang tidak sedikit dan berdimensi banyak, yang tidak dibatasi oleh
batas-batas teritorrial tertentu, bahkan dapat dikatakan pengelolaan pelabuhan
diatur secara global. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan nasional yang
berkaitan dengan pelayaran yaitu UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Berdasarkan UU Pelayaran, Pelabuhan merupakan
bagian dari sektor pelayaran, dan merupakan sektor yang kewenangannya berada di
tangan pemerintah pusat. Hal ini ditegaskan pada Pasal 5 ayat (1) UU 21/1992
yang menyatakan bahwa pelayaran (termasuk kepelabuhanan) dikuasai oleh negara
dan pembinaanya dilakukan oleh pemerintah (pusat). Dalam UU tersebut dirumuskan
bahwa pelayaran dalam hal ini dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang berkaitan
dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya.
Sedangkan
mengenai sektor pelabuhan, dalam pasal 21 (1) UU tersebut dirumuskan bahwa
kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkait dengan kegiatan
penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi
pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas
kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat pemindahan
intra dan/atau antar moda. Selanjutnya juga ditegaskan bahwa pelabuhan terdiri
dari pelabuhan umum, yang diselenggarakan untuk pelayanan masyarakat umum, dan pelabuhan khusus, yang diselenggarakan
untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Dengan demikian
ketentuan UU Pelayaran menegaskan bahwa pengelolaan pelabuhan merupakan
kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat. Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, pengelolaan
pelabuhan dapat dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha yang ditunjuk oleh
pemerintah, yaitu PT Pelindo.
Sedangkan sejak tahun 1999, dengan UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang diganti oleh UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pelayaran (termasuk pelabuhan) adalah urusan pemerintahan
yang dapat ditafsirkan sebagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke
daerah. Berdasarkan kedua UU Pemerintahan Daerah tersebut, Pemerintah Pusat
hanya berwenang dalam urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, justisi, moneter, dan agama. Sedangkan urusan-urusan
lainnya, termasuk urusan kepelabuhan menjadi kewenangan dari pemerintah daerah.
Mengenai klasifikasi
atau hierarki pelabuhan, sebenarnya PP No. 69/2001 telah membuat pengaturan yang jelas. Disini, pelabuhan dibagi menjadi
3(tiga) jenis, yaitu pelabuhan nasional dan
internasional yang dikelola PT Pelindo; pelabuhan regional yang dikelola pemerintah
propinsi; dan pelabuhan lokal yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Jika klasifikasi semacam ini dapat dilaksanakan secara konsisten, akan
memperjelas pembagian kewenangan dan mekanisme hubungan antara Pusat, Propinsi,
dan Kabupaten/Kota. Namun dalam prakteknya, tidak ada kriteria yang jelas untuk
memasukkan suatu pelabuhan kedalam kategori nasional/internasional, regional,
atau lokal. Sebagai contoh, Pelabuhan Brebes yang semestinya merupakan pelabuhan lokal pada kenyataannya dikategorikan
sebagai pelabuhan regional yang berarti masih dalam kewenangan Kanwil Dephub
Jawa Tengah. Kenyataan tersebut mengakibatkan daerah tidak bisa mendapatkan
pemasukan dari sektor kelautan yang secara nyata dijamin UU No. 22/1999 (Pikiran Rakyat,
8/10/2002).
Oleh karenanya, semestinya tidak
perlu terjadi konflik pengelolaan pelabuhan yang berlarut-larut. Artinya,
pemerintah tinggal melakukan pengaturan ulang tentang klasifikasi pelabuhan
beserta kriteria-kriteria yang jelas, kemudian menetapkan jenis pelabuhan mana
yang didesentralisasikan, atau yang didekonsentrasikan, atau yang masih disentralisasikan.
Agar tidak menimbulkan interpretasi yang beragam serta potensi konflik di
kemudian hari, maka penetapan pola pengelolaan pelabuhan ini harus disertai
dengan rincian kewenangan secara detil.
C. Ketidakharmonisan Pengaturan
Dengan
berlakunya otonomi daerah, yang didasarkan pada UU No. 22/1999 dan telah
diganti oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi
ketidakharmonisan pengaturan tentang pengelolaan pelabuhan. Disatu pihak,
Pemerintah Pusat berpegang kepada UU 21/1992 yang menegaskan bahwa urusan
kepelabuhanan (yang merupakan bagian dari sektor pelayaran) merupakan
kewenangan dari Pemerintah Pusat. Sedangkan Daerah berpendapat bahwa urusan kepelabuhanan merupakan kewenangan pemerintah
daerah berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian terjadi
ketidakharmonisan pengaturan tentang kepelabuhanan di Indonesia. Hal ini
sebenarnya akibat dari ketidaksinkronan pengaturan tentang berbagai sektor
pemerintahan yang ada, dan juga sebagai akibat dari berbagai faktor lainnya.
Pada perkembangannya, telah terjadi sengketa
antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tentang pengelolaan pelabuhan
yang ada di daerah. Salah satunya adalah dalam bentuk judicial review terhadap
Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhan oleh Pemerintah Kota
Cilegon, dan dalam hal ini Mahkamah Agung memenangkan permohonan Judicial
Review dari Kota Cilegon tersebut. Dengan putusan tersebut, Pemerintah Daerah
mempunyai legitimasi untuk mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya.
Dengan berdasarkan putusan Mahkamah Agung
tersebut maka pertanyaan bagaimanakah kewenangan PT Pelindo dalam pengelolaan
Pelabuhan oleh Pemda pasca putusan MA yang memenangkan uji materiil Pemkot
Cilegon, dapat diuraikan bahwa legitimasi PT Pelindo sebagai operator yang
diberi kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola pelabuhan di daerah
menjadi hilang, dan berdasarkan putusan MA tersebut, maka daerah mempunyai
kewenangan untuk mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya sesuai dengan
Undang-Undang Otonomi Daerah. Namun demikian, pertanyaan selanjutnya adalah
apakah putusan secara otomatis memberikan kewenangan daerah untuk mengelola
pelabuhan. Hal ini tentu tidak dapat secara otomatis diterapkan, mengingat
untuk hal tersebut membutuhkan masa peralihan, antara lain dengan mengubah
dahulu PP No. 69/2001 tersebut untuk direvisi dan disesuaikan dengan putusan
dari MA tersebut. Selain itu, dengan putusan MA tersebut, PT Pelindo tidak lagi
mempunyai kewenangan sebagai regulator di pelabuhan. Pasca putusan tersebut, PT
Pelindo bertindak sebagai operator, yang menjalankan fungsi usaha dan bisnis di
pelabuhan-pelabuhan yang dikelolanya selama ini.
Kemudian pertanyaan bagaimanakah pengelolaan
pelabuhan oleh Pemda yang sesuai dengan ketentuan UU Pemda dan sekaligus tidak
menyalahi aturan internasional mengenai ekspor impor dapat dijawab dengan
pernyataan bahwa sepanjang mempunyai itikad baik dalam pengelolaan pelabuhan,
maka Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada untuk mengelola pelabuhan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki daerah. Namun demikian, dalam pengelolaan pelabuhan tersebut dan
sesuai dengan sifat pelabuhan yang multi dimensional dan multi sektoral, Pemerintah
Daerah wajib mengikuti dan menyesuaikan operasional di pelabuhan dengan
berbagai ketentuan nasional dan intenasional yang mengatur tentang kepelabuhan.
Selain itu, Pemerintah Daerah wajib melakukan koordinasi dan sinkronisasi
dengan berbagai sektor yang ada, baik pemerintah maupun swasta, yang merupakan
stakeholder dari pelabuhan.
D. Kondisi Ideal bagi Pengelolahan Pelabuhan
Pada dasarnya, pengelolaan pelabuhan dapat
menjadi kewenangan dari berbagai fihak, baik di tingkat pusat maupun daerah, sepanjang
pengelolaan pelabuhan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa dan negara serta masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pertentangan tentang kewenangan pengelolaan
pelabuhan hendaknya tidak menjadi permasalahan yang berlarut-larut yang dapat
merugikan berbagai pihak dan masyarakat yang ada. Terlebih lagi apabila negara
tersebut merupakan negara yang menganut sistem negara kesatuan (unitary state),
seperti Indonesia, maka pengelolaan pelabuhan yang ada di negara tersebut
mustinya dilaksanakan secara integratif, unitary, dan berwawasan internasional
untuk kepentingan dan kemanfaatan bersama, baik masyarakat nasional maupun
masyarakat daerah.
Mengingat sifat pelabuhan yang merupakan tempat
dan aktivitas yang multi dimensional dan multi sektoral, pengelolaan pelabuhan
pada saat ini dan di masa depan tidak dapat lagi dibatasi oleh berbagai batas
teritorial dan batas-batas sektoral lainnya yang dapat menghambat aktivitas dan pengembangan dari pengelolaan pelabuhan yang
bersifat multi sektoral tersebut. Pelabuhan adalah wadah di mana berbagai
aktivitas, kepentingan, dan berbagai hal lainnya berlangsung secara global dan
dinamis. Oleh larena itu, setiap pengelola pelabuhan wajib menyadari berbagai
faktor tersebut diatas apabila berniat dan beritikad baik untuk mengelola
pelabuhan-pelabuhan yang ada. Dengan demikian, pengelolaan pelabuhan pada
dasarnya merupakan manajemen dari aktivitas yang dinamis dan berdimensi multi
dalam suatu pelabuhan yang mempunyai banyak kepentingan dan berbagi pihak yang
berkepentingan (stakeholder) di dalamnya. Oleh karena itu, pengelola pelabuhan
berkewajiban mempunyai kemampuan yang professional, qualified dan legitimated
dalam mengelola pelabuhan yang ada di Indonesia.
Yang
perlu dihindari untuk masalah pengelolaan pelabuhan saat ini adalah inti
persoalan yang direduksi menjadi konflik kepentingan. Artinya, yang dipermasalahkan seharusnya
tidak hanya “siapa yang berhak untuk mengelola pelabuhan”, dan bukan pada
pertanyaan tentang “siapa yang lebih mampu mengelola pelabuhan demi kemajuan
pembangunan dan pelayanan umum di daerah” atau “mekanisme apa yang paling
efektif untuk mengelola pelabuhan itu”. Kondisi ini secara tidak langsung
membenarkan anggapan bahwa pangkal dari seluruh sengketa antara Pusat dengan
Daerah, tidak lebih dari sekedar rebutan “rejeki” belaka. Padahal, manajemen
pemerintahan yang ideal adalah sebuah proses yang mengkompromikan antara
kepentingan demokratisasi dan pemberdayaan disatu sisi, dengan kepentingan
efisiensi disisi lain. Artinya, desentralisasi luas wajib didukung sepanjang
mampu menghadirkan sosok pemda yang lebih efektif dalam bekerja dan lebih prima dalam
kinerja. Dalam hal kapasitas pemda belum memadai, maka keberadaan aparat
propinsi maupun pusat, sesungguhnya adalah sesuatu yang logis. Dalam konteks
pengelolaan pelabuhan, tidak menjadi soal siapapun yang memegang peran
regulator ataupun operator, asalkan dapat menghasilkan keuntungan bersama (mutual benefit). Moda kerjasama yang layak
dikembangkan disini adalah pemilikan saham PT Pelindo secara bersama-sama.
Sebagai pemegang saham, daerah akan memiliki kontrol dan akses pengambilan
keputusan strategis yang berhubungan dengan pelabuhan tersebut sebesar nilai
saham yang ditanamkan, tanpa keharusan mengelola pelabuhan itu sendiri. Selain
itu, saran Menko Perekonomian agar ke-57 pemerintah daerah membentuk badan
kerja sama (konsorsium) guna membangun dan mengelola pelabuhan, layak pula
dipertimbangkan secara cermat.
Yang diperlukan sekarang adalah
adanya hukum yang jelas tentang wewenang pengelolaan pelabuhan, serta berbagai
implikasi yang timbul dari pengelolaan tersebut. Sebagai contoh, jika pelabuhan
dikelola oleh daerah, harus pula dijamin adanya profit
sharing antara Pusat dengan Daerah serta
antara daerah yang menguasai pelabuhan dengan daerah lain yang menggunakan jasa
pelabuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan, juga dibutuhkan adanya itikad
baik dari pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk bersama mencari penyelesaian
terbaik. “Perang dalil” yang bertujuan sempit untuk mencari
kemenangan pribadi dan
mengalahkan pihak lain,
sudah tidak relevan
lagi untuk situasi kondusif bagi pengelolaan pelabuhan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelabuhan
merupakan bagian dari sektor pelayaran, dan merupakan sektor yang kewenangannya
berada di tangan pemerintah pusat. Hal ini ditegaskan pada Pasal 5 ayat
(1) UU 21/1992 yang menyatakan bahwa pelayaran (termasuk kepelabuhanan)
dikuasai oleh negara dan pembinaanya dilakukan oleh pemerintah (pusat). Dalam
UU tersebut dirumuskan bahwa pelayaran dalam hal ini dimaksudkan sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta
keamanan dan keselamatannya.
Sedangkan mengenai sektor pelabuhan, dalam pasal
21 (1) UU tersebut dirumuskan bahwa kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang
berkait dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam
melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan
ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan
berlayar, serta tempat pemindahan intra dan/atau antar moda. Selanjutnya juga
ditegaskan bahwa pelabuhan terdiri dari pelabuhan umum, yang diselenggarakan
untuk pelayanan masyarakat umum, dan pelabuhan khusus, yang diselenggarakan
untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Dengan demikian
ketentuan UU Pelayaran menegaskan bahwa pengelolaan pelabuhan merupakan
kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat. Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, pengelolaan
pelabuhan dapat dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha yang ditunjuk oleh
pemerintah, yaitu PT Pelindo.
Sedangkan sejak tahun 1999, dengan UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang diganti oleh UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pelayaran (termasuk pelabuhan) adalah urusan pemerintahan
yang dapat ditafsirkan sebagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke
daerah. Berdasarkan kedua UU Pemerintahan Daerah tersebut, Pemerintah Pusat
hanya berwenang dalam urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, justisi, moneter, dan agama. Sedangkan urusan-urusan
lainnya, termasuk urusan kepelabuhan menjadi kewenangan dari pemerintah daerah.
Mengenai klasifikasi
atau hierarki pelabuhan, sebenarnya PP No. 69/2001
telah membuat pengaturan yang jelas. Disini, pelabuhan dibagi menjadi 3(tiga)
jenis, yaitu pelabuhan nasional dan
internasional yang dikelola PT Pelindo; pelabuhan regional yang dikelola pemerintah
propinsi; dan pelabuhan lokal yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Jika klasifikasi semacam ini dapat dilaksanakan secara konsisten, akan
memperjelas pembagian kewenangan dan mekanisme hubungan antara Pusat, Propinsi,
dan Kabupaten/Kota. Namun dalam prakteknya, tidak ada kriteria yang jelas untuk
memasukkan suatu pelabuhan kedalam kategori nasional/internasional, regional,
atau lokal.
2. Mengingat sifat pelabuhan
yang merupakan tempat dan aktivitas yang multi dimensional
dan multi sektoral, pengelolaan pelabuhan pada saat ini dan di masa
depan tidak dapat lagi dibatasi oleh berbagai batas teritorial dan batas-batas
sektoral lainnya yang dapat menghambat aktivitas dan pengembangan dari
pengelolaan pelabuhan yang bersifat multi sektoral tersebut. Pelabuhan adalah
wadah di mana berbagai aktivitas, kepentingan, dan berbagai hal lainnya berlangsung secara global dan dinamis. Oleh larena
itu, setiap pengelola pelabuhan wajib menyadari berbagai faktor tersebut diatas
apabila berniat dan beritikad baik untuk mengelola pelabuhan-pelabuhan yang
ada. Dengan demikian, pengelolaan pelabuhan pada dasarnya merupakan manajemen
dari aktivitas yang dinamis dan berdimensi multi dalam suatu pelabuhan yang
mempunyai banyak kepentingan dan berbagi pihak yang berkepentingan
(stakeholder) di dalamnya. Oleh karena itu, pengelola pelabuhan berkewajiban
mempunyai kemampuan yang professional, qualified dan legitimated dalam
mengelola pelabuhan yang ada di Indonesia. Yang perlu dihindari untuk masalah
pengelolaan pelabuhan saat ini adalah inti persoalan yang direduksi menjadi
konflik kepentingan. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab pertanyaan
bagaimana pengelolaan pelabuhan oleh Pemda yang sesuai dengan ketentuan UU
Pemda dan sekaligus tidak menyalahi aturan internasional .
B. Saran
1.
Perlu adanya perubahan terhadap UU Pelayaran dan
tentu saja harus diikuti dengan perubahan peraturan pelaksana di bawahnya,
seperti PP No.69 Tahun 2001 tentang kepelabuhan, yang secara konkrit dapat
dilaksanakan dalam praktek. Hal ini juga diperlukan untuk mengakomodir putusan
judicial review MA mengenai pengelolaan pelabuhan yang diajukan oleh Pemkot
Cilegon dan Forum Deklarasi Balikpapan. Dalam hal ini, draf RUU Pelayaran
sebenarnya telah disusun dan dibahas, namun perlu pula dipertimbangkan mengenai
pasal-pasal yang mengandung multi tafsir.
2.
Dalam menyikapi aturan mengenai pengelolaan
pelabuhan, semua pihak hendaknya memandang kewenangan di wilayah laut sebagai sebagai “manajemen pelabuhan”,
dan bukan “penguasaan pelabuhan”. Artinya, perlu disadari bahwa
pengertian
“pengelolaan pelabuhan” sesungguhnya bukan dalam arti sempit sebagai pengelolaan dermaga dan infrastruktur fisik
pelabuhan lainnya, melainkan juga menyangkut keselamatan lalu lintas pelayaran,
sistem navigasi dan persandian, perijinan bagi kapal yang akan berlabuh atau
berlayar, administrasi bongkar muat, dan sebagainya.

Komentar
Posting Komentar